Pemula-pemula kecil bermimpi

Sepi

entah mengapa, tawa betah lama-lama dalam sunyi

salahkah bila dalam kesendirian mencemaskanmu tak kunjung datang?

entahlah, aku seperti mati suri

Masih saja dia merindu kata yang telah ingkar janji

menanti isyarat yang bahkan sejak semula sudah usai

menyisakan luka pada tiap sisi

menuntun langkahnya kepada batas ilusi

 

Memang, ini seperti suratan takdir

ketika kata pergi menyingkir

Puisi masih saja setia menantinya sampai akhir

dalam doanya paling dalam, berharap semoga ada kabar dia akan hadir

 

Puisi menjadi penunggu

nyanyiannya berubah sendu

rintihnya begitu dalam dan pilu

menangisi jarak antara puisi dan kata yang dirindu sejauh sekarang dengan masa lalu

 

Puisi jadi pemurung, kasihnya hilang ditelan awan

kisahnya jadi angan

diapun merelakan

Mencari Kata (Merelakan Puisi)

aku jatuh cinta kepada kata
namun yang dapat kuungkapkan kepadanya hanya barisan koma
cinta penuh koma
rindu penuh koma
dahaga penuh koma
mengingatnya? adalah percuma

dan aku sudah merelakan puisiku menjadi monumen yang akan selalu ditangisi
sebab kata yang dinantikan hadir menyempurnakan baitnya tak kunjung berlabuh
meski doa diucap berpuluh-puluh dan berpeluh-peluh

kini, kurelakan tiap baris darinya jadi reruntuhan rasa
lalu jadi kuburan kata
dan batu nisannya? seorang kamu yang lebih mencintai koma
(kamu dan kata telah bermain mata)

Kepada Adekku

Aku menggigil, pada rindu yang tengil
Kepadamu adik kecil, cintamu di laut sudah kau ikrar, semoga berhasil

Aku pulang ke kampung halaman
disambut cerita yang sepertinya masih adem dan rahasiaku duduk dipangkuan bapak dengan nyaman

Ayunan tempat bermainan siampudan
masih terikat disalah satu dahan pokok jambu air, berdiri kokoh dipojok kanan

adek menyapaku, ambillah buahnya yang paling kecil
yang besar sudah dicuri hujan, pada sore yang menggigil
tapi aku masih menyimpan senyumnya untuk abang, kusembunyikan dibalik kerikil
aku menjaganya aman, dipundakku aku menenteng bedil
sebab aku telah lama menunggumu pulang pada rindu yang tengil

aku menyeduh kopi duduk pada Bebek, besi tua yang sedang memanas
menutup malu wajahnya karena cicilannya belum lunas-lunas
kata ibu “nak, kuliahmu harus segera tuntas, kalau ga nasib kita bisa bablas”
aku menyeruput kopi manis, terpendar wajah ibu di mataku, jawabku “sabar ibu, cintamu pasti berbalas”

Senandung Kemarau

hujan jadi buronan
kali ini menghindar dari insan durhaka, bersembunyi dibalik bukit-bukit
berteman dengan syair meski hanya sebaris atau sebait
ditulis pesan untuk langit
“adakah pelipur bagi hati menjerit
yang memilih jiwanya sakit
berbalas cinta begitu pahit”

Tak perlu kau perbanyak kiasan
biarkan juru kunci bekerja sesuai pesanan
sendau gurau dipersembahkan kepada alam dari mulut komat kamit pawang
meminta cinta dalam rupa hujan
“hujan di awan bergegaslah datang, adakah pantang yang kami langgar
berilah kami banjir sukacita wahai kamu yang maha mendengar”

Kumpulan rayuan tak mempan
celoteh di mimbar jadi hambar
hati-hati ini bualan hampir terbongkar
pawang pensiun, menangisi kemenangan, di ketiak awan
bersyukur harga dirinya masih ada, meski hanya kenangan
dia berteduh di bawah teriknya rindu kepada hujan
tak sadar hujan juga punya tuan, disebut yang agung, Tuhan bukan bagian dagelan
siapakah yang akan menjenguk kita mahluk pecicilan?

kemarau tersesat di sarangnya
tak dikenal pula siapa diranjangnya
lagu merdu jadi ratapan sepuh
alam tak peduli, tak juga berpaling luluh
coba kayuh makin jauh
mana tau atap berdendang luruh
menjawab doa yang berpeluh-peluh

alam mengirim kode intelijen, ini adalah pesan rahasia
“Siapa anda jadi laknat wahai manusia?”

awan, langit, bukit, semesta menulis kisahnya sendiri
dan manusia meratapi ulah tangannya sendiri
“nista kita, ini nasib diskakmat, inikah pertanda kiamat?”

hujan tertidur pulas,
tidak mau genjatan, katanya sudak muak dan mulas
bablas

Tuan, bangunlah kembali!
rindu kami sudah semakin menjadi
kepada Tuan yang tak banyak bicara
tegur mahluk serakah penimbun harta
dan ajari kami jadi miskin bermartabat
yang tak perlu panjang lebar berdebat
tentang makna adab dan biadab
tentang perihnya hujaman azab

Tuan, dalam diammu pesan apa yang ingin kau sampaikan kepada mahluk jelata
yang hanya bisa mengusir lapar dari kata-kata
yang hanya bisa menawar dahaga dari air mata

Tuan, ajari kami jadi miskin yang tak menghamba
dalam hitungan pembangunan kami dianggap tak ada
dalam debat senayan kami hanya komoditas kata

Tuan, ajari, ajari kami memaknai kata
tentang arti cinta kepada negara

Aku adalah manusia !!!
Itu saja

Rindu kepada wajah yang terdampar

Dalam pahat kata hangat berujar

 

“katakan rindumu

dalam tidur yang nyenyak

dalam malam yang menghentak

dalam pejam yang menyalak”

 

kataku dalam musim marummu

tak perlu takut menyambut malam

cukup ucapkan salam

biarkan raungmu menggema dalam relungku

 

“lalu rindu apa yang kau punya untukku

Karena jauh dirimu menjadikanku dalam gelisah”

 

Selalulah senyummu merekah

Dijantung hatiku

Dipuncak rinduku

Mudah-mudahan kita jadi berkah.

Terjajah di negeri sendiri

Terusir dari tanah sendiri

Dilacurkan di rumah sendiri

Apakah kau akan dibiarkan menderita sendiri

Bahkan petinggi negeri

Tak tahu malu lantang menzolimi

Hartamu jadi kamoditas politik terkini

Oleh setan berdasi yang penuh ambisi

 

Lihat saja tayangan sejak kemarin hari

Ada mantan jenderal kancut menjual mimpi

Politisi muka badak, bau kentut, melacur diri

Bicara saham seolah paham permasalahan negeri

Senyumnya kalam menghanyutkan karena punya rekanan pemilik tivi

Coba berintrik padahal otak kelas teri

Bicara moral saja tidak ngerti

 

Fafua, maafkan kami

Dipusat sini banyak setan meminjam badan manusia sakti

Berkoar-koar pejuang kesejahteraan padahal pencuri

Kalau kau mendengar kata Fafua sejahtera, maaf sementara itu mungkin ilusi

Ah, Fafua nasibku kini

Kau banyak disebut dalam pidato kebangsaan, tapi tetap saja kau sendiri

Babak belur dirampok, dibiarkan miskin bertubi-tubi