entah mengapa, tawa betah lama-lama dalam sunyi
salahkah bila dalam kesendirian mencemaskanmu tak kunjung datang?
entahlah, aku seperti mati suri
entah mengapa, tawa betah lama-lama dalam sunyi
salahkah bila dalam kesendirian mencemaskanmu tak kunjung datang?
entahlah, aku seperti mati suri
Masih saja dia merindu kata yang telah ingkar janji
menanti isyarat yang bahkan sejak semula sudah usai
menyisakan luka pada tiap sisi
menuntun langkahnya kepada batas ilusi
Memang, ini seperti suratan takdir
ketika kata pergi menyingkir
Puisi masih saja setia menantinya sampai akhir
dalam doanya paling dalam, berharap semoga ada kabar dia akan hadir
Puisi menjadi penunggu
nyanyiannya berubah sendu
rintihnya begitu dalam dan pilu
menangisi jarak antara puisi dan kata yang dirindu sejauh sekarang dengan masa lalu
Puisi jadi pemurung, kasihnya hilang ditelan awan
kisahnya jadi angan
diapun merelakan
aku jatuh cinta kepada kata
namun yang dapat kuungkapkan kepadanya hanya barisan koma
cinta penuh koma
rindu penuh koma
dahaga penuh koma
mengingatnya? adalah percuma
dan aku sudah merelakan puisiku menjadi monumen yang akan selalu ditangisi
sebab kata yang dinantikan hadir menyempurnakan baitnya tak kunjung berlabuh
meski doa diucap berpuluh-puluh dan berpeluh-peluh
kini, kurelakan tiap baris darinya jadi reruntuhan rasa
lalu jadi kuburan kata
dan batu nisannya? seorang kamu yang lebih mencintai koma
(kamu dan kata telah bermain mata)
Aku menggigil, pada rindu yang tengil
Kepadamu adik kecil, cintamu di laut sudah kau ikrar, semoga berhasil
Aku pulang ke kampung halaman
disambut cerita yang sepertinya masih adem dan rahasiaku duduk dipangkuan bapak dengan nyaman
Ayunan tempat bermainan siampudan
masih terikat disalah satu dahan pokok jambu air, berdiri kokoh dipojok kanan
adek menyapaku, ambillah buahnya yang paling kecil
yang besar sudah dicuri hujan, pada sore yang menggigil
tapi aku masih menyimpan senyumnya untuk abang, kusembunyikan dibalik kerikil
aku menjaganya aman, dipundakku aku menenteng bedil
sebab aku telah lama menunggumu pulang pada rindu yang tengil
aku menyeduh kopi duduk pada Bebek, besi tua yang sedang memanas
menutup malu wajahnya karena cicilannya belum lunas-lunas
kata ibu “nak, kuliahmu harus segera tuntas, kalau ga nasib kita bisa bablas”
aku menyeruput kopi manis, terpendar wajah ibu di mataku, jawabku “sabar ibu, cintamu pasti berbalas”
hujan jadi buronan
kali ini menghindar dari insan durhaka, bersembunyi dibalik bukit-bukit
berteman dengan syair meski hanya sebaris atau sebait
ditulis pesan untuk langit
“adakah pelipur bagi hati menjerit
yang memilih jiwanya sakit
berbalas cinta begitu pahit”
Tak perlu kau perbanyak kiasan
biarkan juru kunci bekerja sesuai pesanan
sendau gurau dipersembahkan kepada alam dari mulut komat kamit pawang
meminta cinta dalam rupa hujan
“hujan di awan bergegaslah datang, adakah pantang yang kami langgar
berilah kami banjir sukacita wahai kamu yang maha mendengar”
Kumpulan rayuan tak mempan
celoteh di mimbar jadi hambar
hati-hati ini bualan hampir terbongkar
pawang pensiun, menangisi kemenangan, di ketiak awan
bersyukur harga dirinya masih ada, meski hanya kenangan
dia berteduh di bawah teriknya rindu kepada hujan
tak sadar hujan juga punya tuan, disebut yang agung, Tuhan bukan bagian dagelan
siapakah yang akan menjenguk kita mahluk pecicilan?
kemarau tersesat di sarangnya
tak dikenal pula siapa diranjangnya
lagu merdu jadi ratapan sepuh
alam tak peduli, tak juga berpaling luluh
coba kayuh makin jauh
mana tau atap berdendang luruh
menjawab doa yang berpeluh-peluh
alam mengirim kode intelijen, ini adalah pesan rahasia
“Siapa anda jadi laknat wahai manusia?”
awan, langit, bukit, semesta menulis kisahnya sendiri
dan manusia meratapi ulah tangannya sendiri
“nista kita, ini nasib diskakmat, inikah pertanda kiamat?”
hujan tertidur pulas,
tidak mau genjatan, katanya sudak muak dan mulas
bablas
Tuan, bangunlah kembali!
rindu kami sudah semakin menjadi
kepada Tuan yang tak banyak bicara
tegur mahluk serakah penimbun harta
dan ajari kami jadi miskin bermartabat
yang tak perlu panjang lebar berdebat
tentang makna adab dan biadab
tentang perihnya hujaman azab
Tuan, dalam diammu pesan apa yang ingin kau sampaikan kepada mahluk jelata
yang hanya bisa mengusir lapar dari kata-kata
yang hanya bisa menawar dahaga dari air mata
Tuan, ajari kami jadi miskin yang tak menghamba
dalam hitungan pembangunan kami dianggap tak ada
dalam debat senayan kami hanya komoditas kata
Tuan, ajari, ajari kami memaknai kata
tentang arti cinta kepada negara
Aku adalah manusia !!!
Itu saja
Rindu kepada wajah yang terdampar
Dalam pahat kata hangat berujar
“katakan rindumu
dalam tidur yang nyenyak
dalam malam yang menghentak
dalam pejam yang menyalak”
kataku dalam musim marummu
tak perlu takut menyambut malam
cukup ucapkan salam
biarkan raungmu menggema dalam relungku
“lalu rindu apa yang kau punya untukku
Karena jauh dirimu menjadikanku dalam gelisah”
Selalulah senyummu merekah
Dijantung hatiku
Dipuncak rinduku
Mudah-mudahan kita jadi berkah.
Terjajah di negeri sendiri
Terusir dari tanah sendiri
Dilacurkan di rumah sendiri
Apakah kau akan dibiarkan menderita sendiri
Bahkan petinggi negeri
Tak tahu malu lantang menzolimi
Hartamu jadi kamoditas politik terkini
Oleh setan berdasi yang penuh ambisi
Lihat saja tayangan sejak kemarin hari
Ada mantan jenderal kancut menjual mimpi
Politisi muka badak, bau kentut, melacur diri
Bicara saham seolah paham permasalahan negeri
Senyumnya kalam menghanyutkan karena punya rekanan pemilik tivi
Coba berintrik padahal otak kelas teri
Bicara moral saja tidak ngerti
Fafua, maafkan kami
Dipusat sini banyak setan meminjam badan manusia sakti
Berkoar-koar pejuang kesejahteraan padahal pencuri
Kalau kau mendengar kata Fafua sejahtera, maaf sementara itu mungkin ilusi
Ah, Fafua nasibku kini
Kau banyak disebut dalam pidato kebangsaan, tapi tetap saja kau sendiri
Babak belur dirampok, dibiarkan miskin bertubi-tubi